HOME
ABOUT
WORKS
CONTACT
Title

| optimized for Safari | Last update:oct 2013 |     © 2006 Melati SURYODARMO

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Rindu
Kashya-kashya muttiku
Der Sekundentraum

Bubble Jam

Exergie-butter dance

Lullaby for the Ancestors

Love me Tender

Why let the chicken run?

Risk in Plurality

Tarung

The Promise

Ale Lino

The Ballad of Treasures

Boundaries that lie

The Black Ball

The Komodo FIles
Deformed Ethic of a Relationship 2.0
Deformed Ethic of a Relationship 1.0

The Fermata

The Visible Undone Behaviour

Kleidungsaffe

Cruise Control

Height of Limerence

My FIngers are the Triggers

I Love You

Perception of Patterns in Timeless Influence

The Seed

Silent Trip

Memorabilia

Euology

Ugo

Sonnete number 25

The dog barked at the back yard, while the eagle flew after the dark. And I....

When the box was opened, the fog disappeared. Alienation of the stone

I put a spell on you

Cyclus-X
Excused me, Sir!
Passionate Pilgrim

Exergie - butter dance extended

Feather fell down from the silence

Almost there

Feathers fall from nowhere

Kein Spiel
Conversation with the Black

Reclaimed

Beethoven Sonata Marathon

Mama never bought me a pair of jeans trousers

John Cage_Song Books
I'm a ghost in my own house
Sweet dreams sweet
The Dust
 

 

 

Conversation with the Black

2011

Conversation_with_the_black_2 performed at Manila Contemporary, Manila, the Philipines, 2011

 

A CONVERSATION WITH BLACK is a performance work which is based on the idea of the psychology of geometrical aspect of objects. I am focusing on human being as an object of political and cultural strategies. The relationship between displacement as a fact and the shifting of political and cultural behavior are obvious throughout the history.

A CONVERSATION WITH BLACK is an two-hours performance, using a specific room installation. The space is arranged to be a still-room, with black carpet on the floor and a rectangular cut of the carpet is attached at the wall. I slipped and hung behind the carpet hung on the wall.

Duration : 2 hours

performed at

"Absence", Manila Contemporary, Manila, the Philipines, 2011

"Jogja Biennal XI", Jogjakarta National Museum, Jogjakarta, Indonesia 2011

Conversation_with_the_black_1 Manila Contemporary, Manila, the Philipines, 2011

__________________

Surat kepada Alia Swastika


dear Alia,
selama lima tahun belakangan ini aku banyak melakukan observasi, bagaimana tubuh manusia yang apa adanya, bukan tubuh panggung, bukan tubuh dalam konteks kesenian apapun, namun tubuh-tubuh kita secara fisik apa adanya. Selama ini aku meyakini bahwa tubuh manusia berfungsi sebagai kontainer yang memuat memori-memori dan perjalanan sejarahnya masing dan tidak lepas dari muatan-muatan sejarah dari akar asal usulnya. pengamatanku mulai bergeser dari dalam tubuh pribadi menuju tubuh sosial. Aku tertarik untuk mengamati bagaimana manusia sebagai individu bersama resistensinya masing-masing menembus perubahan-perubahan yang terus menerus. Kaau kita berbicara dalam sebuah sistem masyarakat, peran individu menjadi sangat penting karena dialah yang menjdai faktor perubahan tersebut. Entah kekuatannya sendiri atau pun kekuatan komunal yang terkerahkan untuk mengalami perubahan.
Saat ini nampaknya situasi politik, sosial dan ekonomi dunia banyak mengalami gejolak perubahan yang sangat padat frekwensinya. Namu jika kita menengok sejarah masa lampau secara garis besar, perubahan-perubahan yang bergejolak itu selalu ada dari waktu ke waktu. Dari sejak jaman pencerahan Eropa, kemudian kolonialisme di Asia, revolusi industri, lalu perang dunia pertama, perang dunia ke dua, revolusi kebebasan, feminisme, blok barat dan blok timur, pasar bebas eropa, revolusi di timur tengah, terorisme, fundamentalisme agama, dan seterusnya akan ada lagi gejolak.gejolak baru. Semuanya menyangkut tema-tema manusia dan pembebasannya. Kebebasan yang bagaimana yang kita inginkan? Seperti apakah kebebasan yang kita pelajari?
Aku terbentur pada studi benda mati. benda-benda mati itu ibaratnya mewakili bagian-bagian dari sebuah sistem yang tidak lagi bergerak. Dia mati. Aku meletakkan benda-benda mati itu dalam sebuah ruang kosong. Sebagai pengamat aku meletakkan diri di luar ruangan dan berpindah ke dalamnya. Banda-benda itu tidak bergerak. Tubuhku tidak bergerak di antara mereka tapi pikiranku berjalan dari suatu lorong ke lorong lain, dia mencari jalan ke luar.
Fenomena fisikal antara benda mati dan tubuhku yang hidup berinteraksi dalam diam. Jika pikiranku mencapai pada kesimpulan bahwa benda itu barada di tempatnya, karena aku yang meletakkannya, maka keberadaan benda mati itu tidak lagi berdiri sendiri sebagai benda mati. Ia berada pada sebuah sistem kertergantungan. Benda mati itu tidak hidup dan tidak berpikir, Namun dia berada dalam wujud dan mempengaruhi ruang di mana dia berada. Keberadaannya memancarkan daya tarik lepas dari adanya fungsi atau tidaknya. Ketika aku duduk di atas benda berbentuk kubus, dia mengakibatkan adanya fungsi. Fungsi itu, aku yang memutuskan, dari sebuah kubus menjadi sebuah kursi. Dalam proses seperti ini aku menautkan antara konsep geometri dan psikologi.
Demikian selanjutnya simulasi tersebut mengajak aku berpikir, bagaimana manusia ditempatkan oleh sejarah, agama, ilmu pengetahuan dan kebudayaannya. Juga bagaimana manusia dalam kehidupan sosialnya memfungsikan nilai-nilai kayakinan dan moral-moral demi kepentigan dan kelangsungan kehidupan masyarakat. Namun kadang kita lupa dan terlupakan, bahwa kembali pada individu manusia itu yang sbenarnya sangat menentukan adanya perubahan. Bukan sistem atau fungsi an sich yang merubah masyarakat, namun sebaliknya.
Ketika aku sadar bahwa proses reproduksi pemikiran kemanusiaan sebenarnya tidak jauh dari proses produksi yang terus menerus, maka aku juga menjadi bagian dari produksi dan reproduksi sebuah sistem yang sudah berlangsung dan juga mengalami perubahan. Kepercayaan terhadap sebuah sistem yang aku pelajari dari rumah, pendidikan dan lingkungan nampaknya selama ini harus dimaklumi. Namun sebagai individu yang bergerak dan memiliki fungsi produktivitas, aku berada pada perjalanan menelusuri lorong-lorong pertanyaan yang mencari jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dari hasil reproduksi yang berbeda-beda yang mengakibatkan pertentangan dan keraguan terhadap nilai-nilai.
Tujuh belas tahun yang lalu ketika untuk pertama kalinya aku bermigrasi ke Eropa, aku banyak menghadapi penyesuaian yang mau tidak mau harus aku lakukan. Secara sadar aku melakukannya karena aku ingin hidup dalam masyarakat di mana aku tinggal. Perbedaan latar belakang kebudayaan dan cara berpikir menjadi isu-isu pemahaman identitas diri. Aku mulai mempertanyaakan siapa diriku, dan mewakili apa, dan mengapa aku berada dalam identitas itu.
Tujuh belas tahun kemudian, aku melihat fenomena identitas dengan sudut pandang yang berbeda. Karena hampir separuh dari tubuhku sudah berada dalam lingkungannya yang tidak asing lagi. Tapi secara fisik, aku tetap orang asing di sini, dan secara kultural tetap menghadapi konfrontasi yang terus menerus.
Dan menurutku, tema - tema identitas yang bersifat kultural itu memang penting untuk dilakukan dan dialami. Namun secara sadar aku mulai melewati batas-batas konsep kebudayan dalam berproses karya dan menempatkan diriku dalam karya sebagai apa adanya diriku sebagai manusia.
Conversation with the Black ini bagiku merupakan sebuah sikap, bagaimana aku melihat keberadaanku dalam penempatan dan pemindahannya. Dalam pelacakanku aku menemukan semacam picu untuk melihat bagaimana aku misalnya secara spiritual dipengaruhi oleh imaji-imaji religius keika aku dulu duduk di bangku sekolah dan mendapatkan pelajaran agama Katolik. Bahwa surga ada di atas, namun Tuhan ada di dalam hatimu. Ketika berdoa, pikiran kita menuju ke atas sana, entah ke mana, namun keinginan diarahkan untuk bertemu dengan Yang Maha Kuasa di atas sana. Ketika aku berjalan di gereja-gereja tua di Italy dan di negara Eropa lainnya, nampak semakin jelas, bahwa penggambaran yang suci selalu ada di atas. Tubuh kita menjadi kecil dan tidak berarti di dalam sebuah kemegahan rumah Tuhan. Kita dioaksa untuk menjadi kecil.
Dalam karya ini aku tertarik untuk memproyeksikan pemikiran tentang proses pemindahan atas perhitungan geometri dan psikologinya melalui penataan konsep ruang yang sedemikian rupa hingga memunculkan sebuah situasi tertentu. Posisi tubuhku yang menggantung dibalik karpet hitam potongan dari karpet yang di lantai itu menjadi sebuah teka-teki bagi diriku sendiri. Dan memang penyikapan tubuh aku dalam ruang ini seperti luapan kesimpulan emosi-emosi dan kenyataan tentang bagaimana aku sebagai manusia terjebak oleh batasan-batasan dinding dan tidak ada kemungkinan lagi untuk melarikan diri. Begitukah kadang kita semua merasakan, keterbatasan kita sebagai manusia, antara dorongan dan kewajiban untuk tetap maju namun justru terjebak ke dalam sebuah sistem kehidupan yang tidak membuka.

Tulisan in sekedar catatan untuk keperluan muatan katalog Biennalle Jogja dan publikasi yang diperlukan


Solo, 11 September 2011